Ella
I never know how the brain works exactly.
Sebagaimana daun jatuh dari pohon pasti memiliki penyebab, aku yang akhirnya lebih memilih jurusan IPS juga salah satunya disebabkan karena aku hampir selalu membolos saat mata pelajaran biologi. I never liked science, jadi aku nggak tahu gimana cara kerja otak bersamaan dengan indera lainnya, secara sistematis dan terukur dalam merespon banyak hal yang kita hadapi.
At that very moment, aku nggak tahu apa yang diperintahkan otakku waktu aku bertemu laki-laki itu, di siang hari yang sangat terik di depan Gate 18 Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta sampai mataku membola dan bibirku kelu.
Padahal, waktu aku tahu kalau penguji skripsiku adalah dosen yang terkenal paling killer di jurusan pun, respon tubuhku nggak begini. Tapi kenapa waktu Sekai berdiri di hadapanku, dengan kaos santai dan celana jeans selutut bersama dengan seorang temannya aku langsung kaku?
Mungkin salivaku akan menetes begitu saja kalau Karina, teman yang sudah susah payah mengajakku ikut open trip super dadakan ini nggak menyenggol lenganku.
“Oh, sorry, Kai. Gabriella. Ella juga bisa, sih.” Aku lantas menjabat tangannya yang sudah kuabaikan beberapa menit lamanya.
Laki-laki yang badannya seperti monster karena Demi Tuhan, mungkin dia tingginya 2 meter ini tersenyum cepat, lalu mempersilahkan laki-laki yang sedikit lebih kecil darinya bergantian untuk memperkenalkan diri.
“Gue Alan, temannya Sekai. Nice to meet you, Karin and Ella.”
Lesung pipi yang dimiliki Alan langsung muncul di permukaan, membuat aku cukup terkesima karena ternyata dunia ini mempersilahkan dua orang laki-laki tampan untuk berteman. Aku tentu nggak sendirian, karena Karina juga meremat kain bajuku di belakang, tepat setelah Alan memamerkan senyum manisnya.
“Yang lain mana?” Sekai bertanya sembari menyisir pandangannya ke puluhan orang yang sedang duduk menunggu waktu keberangkatan, lalu berhenti tepat di wujudku saat aku dan Karina nggak kunjung memberi jawaban.
“Nggak tahu,” Karina menggaruk kepalanya, “Mungkin belum datang? Soalnya flight-nya masih lama. Gue sama Ella aja yang kecepetan datangnya.”
Sekai mengangguk, “The earlier the better.”
Wow, aku lagi-lagi terkesima dengan caranya menanggapi ucapan orang lain.
“Kan, gue bilang juga apa!” Alan menyenggol lengan Sekai. “Pasti belum pada datang, Kai! Pengangguran macam apa yang datang 3 jam sebelum boarding?!”
“Pengangguran….” Suara Karina terdengar lemah, “Pengangguran macam gue dan Ella, Lan.”
Satu detik berikutnya, Alan melotot kaget. Sekai menatap Karina dan Alan bergantian, lalu tertawa. “I’m truly sorry on behalf of Alan, ya, Rin. Maaf kalau menyinggung.”
Aku dan Karina hanya tertawa sambil menggelengkan kepala. Aku tahu pasti isi kepala Karina akan sama sepertiku, yaitu Alan akan menjadi clown of the group dan bisa menghindarkan kami dari kecanggungan.
Karina dan inisiatif berlebihannya lah yang membawa aku kesini. Teman yang sudah menjadi saksi bagaimana jatuh bangunnya aku demi mengejar lulus 3,5 tahun termasuk di dalamnya mengerjakan skripsi dan tugas magang secara bersamaan ini mendaftarkanku ke sebuah open trip ke Bali secara sangat mendadak. Tiba-tiba saja dia mengirimkan tiket pesawat PP dan itinerary selama di Bali tiga hari lalu.
“Lo harus happy-happy, El! God knows how much you torture yourself these past months. This will be a great experience, kan? Seru tau ikut open trip sama strangers.”
Yeah, open trip semacam ini pasti seru dan menyenangkan kalau saja aku nggak menaruh hati ke laki-laki seperti Kai.
“El,” Suara Kai masuk ke gendang telingaku saat aku masih memejamkan mata di balik kacamata hitamku. Angin pantai di sekitar Canggu siang ini cukup kencang, membuat topi super besar yang aku kenakan berulang kali naik dan mempertontonkan jidatku. Beruntung karena aku sedang berbaring di atas pasir, sehingga topi itu tidak akan lepas lantaran kepalaku yang menindihnya.
“We should leave in 10 mins. Alan bilang yang lain udah otw ke sini.” Aku membuka mata, melirik Kai yang sibuk dengan ponselnya. Mengetik entah apa dan untuk siapa sembari keningnya berkerut.
“Aku masih mau di sini, Kai,” Aku bergeming, tidak bergerak sedikitpun dari posisiku. “Memang kenapa kalau yang lain udah otw kesini? Bukannya bagus kalau bisa gabung?”
Gerakan tangan Kai reflek berhenti, kepalanya memutar hingga menatapku sepenuhnya. Oh, sungguh kalau bukan karena kacamata hitam yang aku gunakan, Kai pasti bisa melihat kalau aku menatap tajam ke arahnya sebagai bumbu atas betapa kalimatku barusan sungguh terdengar menantang.
“Gue nggak bilang kalau pagi ini pergi sama lo.”
“Then tell them.”
Aku lalu bangkit dari tidurku dan duduk tepat di sebelah Kai. Melepaskan kacamataku sehingga akan adil untuk Kai bisa melihat sorot mataku yang jauh dari kata gentar. Kai masih diam, menatapku tidak percaya sementara aku menyusuri tubuh bagian atasnya yang hanya dilapisi kaos sleeveless tipis dengan kedua mataku. Menangkap lengannya yang bertattoo, baik itu tattoo lama dan baru yang tentu saja, dibuat dua hari lalu bersamaku.
“Or you can making up reasons and scenarios that we accidentally met like how you always did before.”
Aku tersenyum miring, kali ini sambil menaikkan sebelah alisku. “Gimana, Kai? Must be easy for you, kan? If its not easy, you won’t do that multiple times before, right?”
Kai
Bali been weird these past days.
Di siang hari yang lebih banyak gue habiskan di luar villa, terik mataharinya sungguh membuat pening kepala. Tapi di tengah malam seperti ini, anginnya begitu kencang sampai gue sedikit menggigil.
Truth be told, sebenarnya yang bikin gue pening tadi siang bukan cuma karena terik matahari, sih. Tapi karena Ella bertingkah nggak seperti biasanya.
Kan, pening lagi gue kalau ingat gimana kejadian tadi siang.
Ingatan tentang Ella selalu sukses bikin gue selalu terjaga. Dan rupanya, kali ini gue nggak bisa memaksa untuk memejamkan mata seperti biasa. Pilihan lainnya yang kemungkinan lebih baik adalah keluar dari kamar dan menenangkan diri di balkon villa.
Anggota lain pasti udah tidur, karena seharian ini aktivitas yang dilakukan cukup menguras tenaga dan for fuck’s sake, it’s 2 AM and no normal people still up for nothing in their holiday, no?
Waktu gue berjalan menuju balkon, sih, gue bisa menjamin hal itu. Karena villa benar-benar senyap tanpa suara. Tapi waktu gue sampai di balkon, ada suara kecipak air yang terdengar cukup jelas. Insting gue mengatakan bahwa gue harus mencari tahu asal suara itu, yang kemudian membuat gue menyesal karena yang gue temukan adalah Ella, perempuan yang membuat gue nggak bisa memejamkan mata.
Seharusnya gue pura-pura nggak mendengar suara air itu. Atau kalau mungkin, seharusnya gue nggak usah keluar kamar dan menjebak diri gue sendiri karena Ella ternyata sedang berenang sendirian dan sekarang berdiri di sisi kolam yang paling dekat dengan balkon.
Posisinya yang berdiri tegak membuat sepertiga dari tubuhnya berada di atas air kolam dan gue bisa melihat sedikit dari tubuh Ella yang terbuka.
“Ngapain, Kai?” Ella menolehkan kepalanya ke sekeliling, matanya mencari entah apa dan membuat gue ikut mencari apa yang dia cari.
Gue mengedikkan bahu sebagai jawaban, lalu melihat Ella yang sepertinya nggak berminat untuk menyudahi kegiatan berenangnya, gue bertanya, “Nggak kedinginan, El, berenang jam segini?”
Perempuan itu menggeleng cepat, masih terlihat canggung dan tatap matanya menelisik ke balkon dan ruang tengah villa yang hanya dibatasi oleh pintu kaca di lantai 1.
“Nyari siapa, sih, El?”
“Yang lain dimana?”
Gue mengernyitkan dahi bingung, “Yang lain siapa?”
“Siapapun,” jawabnya cepat, “Udah pada tidur?”
“Udah. Cuma kita berdua yang masih bangun.”
Perempuan itu membeku seketika, lalu nggak lama kemudian, dia tertawa, “Oh, right. I should’ve known that.”
Gue tahu ada makna dibalik tawa dan kalimatnya. Tapi gue menolak untuk meminta elaborasi darinya. Sudut kecil di hati gue nyuruh gue untuk kembali masuk ke dalam, tapi sepersekian dari hati nurani gue memaksa untuk tetap tinggal dan menemani Ella agar nggak sendirian.
Gue menggelengkan kepala keheranan karena perempuan itu kembali berenang ke sisi lain kolam, lantas menuruni tangga luar dan langsung duduk di pinggiran kolam, menenggelamkan betis gue di sana.
Ella yang menemukan gue sudah duduk manis, lalu tersenyum miring dan kembali meluncur mendekat. Perempuan itu mendorong kakinya, lalu berenang dengan gaya punggung yang membuat badannya mengapung di permukaan.
Selama beberapa hari gue menghabiskan waktu dengan Ella dan rombongan lainnya, setelah beberapa pantai, wisata alam, dan bahkan beach club yang kita datangi, gue nggak pernah melihat tubuh Ella seterbuka ini. Two piece bikini yang dia pakai membuat gue makin pening. Gerakan anggun dari tangan dan kakinya membuat gue ingin bergabung dengannya. Tapi gue masih waras untuk menahan diri dan nggak menimbulkan masalah setelah Ella mulai kelihatan nggak nyaman tadi siang.
Perempuan itu berhenti di sebelah kaki gue, matanya mulai merah karena air kolam dan udara dingin di sekitar.
“Kemana perginya babi guling dan nasi pedas yang tadi siang lo makan, El?” Gue mencoba mencairkan suasana di antara kita berdua.
“Hm?”
“It left nothing to your body, ya?”
Gue sudah siap menerima tamparan dari Ella karena tatapan gue sepenuhnya melekat pada tubuhnya yang terbuka. Ditambah ucapan gue barusan yang menandakan bahwa gue betul-betul memperhatikan ukuran tubuhnya yang mirip model saking bagusnya.
Ella tertawa lagi, kali ini tawanya terdengar lebih renyah daripada sebelumnya. Atau mungkin perasaan gue saja karena sekarang bahkan lengannya bersentuhan dengan kaki gue dan membuat gue merasa berada dalam masalah besar.
“Kenapa nggak tidur, Kai?” Alih-alih menjawab godaan gue, Ella malah bertanya balik sambil menatap gue tepat di mata. Masih ada sorot nggak nyaman disana, tapi gue tahu Ella nggak akan diam saja dan membiarkan hal itu menenggelamkan dirinya.
“Nggak bisa tidur aja,” jawab gue singkat, lalu memainkan air kolam dengan menggoyangkan kaki gue. “Lo sendiri kenapa malah berenang?”
“Pusing,” Ella meringis, “Yang lain udah tidur beneran, Kai?”
“Udah. Khawatir banget, sih?”
Ella mendengus, “Bukannya lo yang khawatir, Kai?”
“Ngapain gue khawatir?”
“Oh, nggak ya?” Perempuan itu lalu mundur beberapa langkah, lalu menjulurkan tangannya ke arah gue, “Kalau gitu bisa dong turun ke kolam?”
Bersama dengan Ella selalu memantik sesuatu dalam diri gue. Ella yang cantik sejak pertama gue bertemu dia, Ella yang nggak banyak bicara di tengah banyak orang, Ella yang tajam ucapannya, Ella yang selalu membuat gue merasa tertantang — untuk apapun konteksnya termasuk barusan.
Maka gue membalas tantangannya, demi ego dan rasa ingin tahu gue akan bagaimana rasanya berenang di jam 2 pagi hanya bersama dewi sepanas Ella, dengan tersenyum miring dan melepas kaos serta celana pendek gue.
Ella dan kepandaiannya menutupi semua lewat raut wajahnya.
Tapi tidak dengan pupil yang membesar seketika dan semburat merah di pipinya ketika gue akhirnya ikut bergabung dengannya, dan berdiri menempel dengan tubuh bagian depannya.
Sudah ada yang bilang kalau Sekai nggak pernah menolak tantangan?
Ella
Aku kira, titik nekat tertinggiku adalah tadi siang waktu aku menolak kabur dari pantai untuk menghindari teman satu grup dan menyuruh Kai untuk mengarang cerita bebas tentang bagaimana kita bertemu secara nggak sengaja di pantai yang sama.
Yang kemudian, jelas diiyakan oleh Kai karena memang sudah kebiasaan dan keahliannya untuk membohongi teman satu grup kami.
Ternyata masih ada tingkatan yang lebih tinggi yang akhirnya aku jamah barusan, yaitu ‘mengajak’ Kai untuk bergabung ke kolam renang.
Seharusnya aku percaya bahwa memang tidak ada anggota lain yang bangun, jadi Kai sama sekali nggak memiliki alasan untuk menolak; karena nggak akan ada yang melihat kita sedang berdua saja.
“You finally say yes to what I said,” Komentarku begitu Kai berdiri di hadapanku. Hanya satu langkah jarak di antara kita dan itu membuat aku bisa melihat dengan jelas dada bidangnya.
Tentu bukan salahku, kan, kalau tinggi badanku hanya sebatas dagunya sehingga mataku sejajar dengan dadanya?
“Do I never say yes before?”
Aku mendengus tidak percaya, “Think, Kai.”
Baru saja aku memutar tubuhku karena hendak meninggalkannya, Kai langsung menarik tanganku untuk kembali mendekat.
“Ella.”
Kai menatapku, tatapan memohon yang sama hangatnya dengan saat kami pertama bertemu, saat kami secara nggak sengaja dipasangkan untuk menggunakan satu motor yang sama (yang kemudian membuat aku menjadi terbiasa dengan presensinya), dan saat Kai meminta kita untuk berpindah dari Shishi saat itu juga hanya karena Alan akan segera tiba tanpa peduli kita sudah susah payah menerjang kemacetan Seminyak di malam Minggu.
Tatapan itu juga yang membuat aku jatuh lagi, lalu menemukan alasan berulang yang terdengar melelahkan untuk sekedar membiarkan dia bertindak sesukanya.
Usapan di pinggangku yang terbuka akibat pekerjaan tangannya membuat aku memejamkan mata.
“I’m sorry,” ucapku setengah sadar, masih dengan mata terpejam.
“No,” jawab Kai cepat, “Don’t be sorry.”
Dan Kai akan lebih cepat lagi perihal menarikku ke dalam pelukannya. Apalagi di saat aku krisis kepercayaan, saat kakiku bahkan terlalu lemah untuk berdiri tegak setelah percakapan singkat barusan.
Kai membiarkan aku diam untuk beberapa saat, ia hanya melingkarkan tangannya di tubuhku. Dan aku punya hak sebesar-besarnya untuk semakin mengeratkan pelukan sambil menetralkan degup jantungku.
“Mau berenang lagi?” tanya Kai setelah beberapa saat kami terdiam.
Aku menggeleng, lalu disambut pertanyaan lainnya. “Mau balik ke kamar?”
Dan akupun menggeleng lagi.
Kai terkekeh ringan dari balik pundakku, lalu menjauhkan tubuh kami berdua dengan tangan yang masih bertengger manis di pinggangku. “Lo maunya apa, El?”
Aku nggak tau, Kai. Sama sekali nggak tau.
Kupikir aku cuma mau kenal sama kamu. Tapi hari berikutnya, setelah lihat kamu surfing di Pantai Canggu, aku mau lebih dekat sama kamu. Setelahnya, waktu kamu menyelamatkan aku dari bule rese yang menggodaku, aku mau untuk selalu sama kamu.
Aku kira akan cukup sampai disitu, sampai dimana kamu selalu menawarkan jok belakang motor sewaan untuk aku duduki, sampai dimana kamu selalu memberiku tempat duduk di sebelahmu setiap kita berkumpul, sampai dimana kamu menjawab, “It’s nice to have you around,” waktu aku bertanya kenapa aku harus sama kamu.
Tanganku memainkan rambut belakangnya yang panjang, memilin di sana dan tak ayal membuat Kai tersenyum. “What do you want, El? What do you want from me?”
I want certainty, Kai, I want you to love me loud and scream your heart out. I want you so bad and its hurt.
Kai
“Ella.”
Gue memanggil lagi namanya, karena perempuan ini hanya menunduk meskipun gue sudah melempar tiga pertanyaan berulang.
“Look at me.”
Waktu Ella akhirnya menengadahkan kepalanya, mata gue langsung terpaku pada bibir penuhnya yang memerah dengan bekas gigitan di bagian bawah.
Tentu saja itu akibat ulahnya sendiri karena mengigit terlalu keras untuk menelan kembali jawaban yang ingin ia ucapkan.
Ella nggak pernah tau betapa kehadirannya beberapa waktu ke belakang begitu berbahaya. Bagi gue, tepatnya. Waktu lihat Ella berjemur bareng Karina dengan pakai bikini dilapisi outer saja, gue sudah panas dingin dibuatnya. Gue sampai harus menjauh dan menanggapi ajakan konyol Alan untuk membuat istana pasir daripada gue harus ngiler di depan Ella.
“You’re dangerously pretty. You know that?”
Ella menggeleng dalam diam. She looks so tiny that I have to look down so I can meet her eyes. Gue sudah membayangkan betapa mudahnya bagi gue untuk mengangkat dia keluar dari kolam agar kami nggak berakhir menyesal, tapi jemari kecilnya yang masih menari di belakang kepala gue bikin gue menggeram.
Gue menempelkan dahi kita berdua, berusaha meredam hawa nafsu yang mulai menguasai.
“Kenapa, Kai?”
This girl. Gue nggak tau harus bagaimana sama perempuan ini.
“Gue anterin lo ke kamar, ya.”
Tentu saja sebagai laki-laki bermartabat gue memberikan penawaran itu, karena gue menghargai dia dan diri gue sendiri.
“You want to kiss me that bad, huh?”
Gue menegang seketika, tapi gue sama sekali nggak terima diperlakukan demikian. Jadi yang gue lakukan setelahnya adalah menarik sebelah sudut bibir gue dan berakting seolah sedang berpikir keras.
“Hmm,” Gue melirik ke atas, namun tangan gue bergerak di bagian atas paha Ella yang terbuka, lalu mengangkat tubuhnya. “Only if you let me to.”
Yang gue tahu setelahnya adalah Ella sudah melingkarkan kakinya di pinggang gue dan gue merasakan dorongan dari bagian belakang kepala gue. Dan Ella nggak menyisakan gue kegiatan lain yang bisa gue lakukan selain membalas ciumannya.
Ella
Do not trust your midnight instinct.
Just. Don’t.
Kai
I’m majoring law but I know for sure that the weight of a body in water is one third of its weight in air.
You asking me how do I know that? I’m speaking from my experience.