void filler #75.

NAUMI
11 min readAug 20, 2023

--

Juwita Chairumi Poetri

Tidak banyak tempat yang aku sukai di sepanjang hidupku. Bukan benci, aku hanya kurang nyaman berada di tempat ramai dengan banyak orang karena hal itu membuat aku perlu memilah versi seperti apa yang perlu aku tunjukkan ke sekitar. Lucu karena pekerjaanku malah menuntutku untuk bertemu banyak orang yang berbeda setiap harinya. Aku tidak begitu suka manusia. Aku lebih suka pada hewan, kucing utamanya, karena dengan mereka aku tidak perlu berpura-pura.

Well, sebetulnya tidak ada yang menyuruhku hidup dengan berpura-pura. Aku sendiri yang mau begitu karena aku yang sebenar-benarnya hanya akan memperumit segalanya dan tidak akan membawaku ke kondisi yang lebih baik.

Aku yang paling tahu diriku sendiri. Ini yang aku pilih dan aku siap bertanggungjawab akan pilihanku.

Belakangan, banyak hal yang terjadi secara beruntun dan itu membuat energiku hampir habis. Aku bahkan tidak sempat mengolah semuanya, saking banyaknya kejadinya yang terjadi dalam kurun waktu singkat dan otakku secara otomatis memerintahkan untuk menyelesaikan yang ada di hadapanku secara satu persatu tanpa pikir panjang.

Kini, ku putuskan untuk melihat segalanya secara keseluruhan. Menarik mundur ke belakang apa yang terjadi dan merasakan dari diriku sendiri. Juwita akan menjadi juwita kali ini, di tempat ini. Tempat yang rasanya lebih nyaman dan akrab daripada kamar kos ku sendiri.

Bandung terik siang ini. Anginnya bertiup kencang sehingga rambut panjangku yang terurai berterbangan. Aku berdiri dekat dengan ujung bangunan. Memilih sisi yang tidak berbatasan dengan parkiran atau gedung seberang sehingga di bawahku hanya ada taman belakang dekanat sepi pengunjung. Aku memeluk diriku sendiri sambil memejamkan mata. Mendongak agar wajahku disapa sinar matahari yang cukup menyengat, hanya agar aku sadar bahwa aku masih bisa merasa. Inderaku masih berfungsi dan aku masih baik-baik saja.

Setidaknya aku berhasil melalui sepuluh hari ke belakang dengan cukup baik. Aku berhasil menyelesaikan tanggungjawab pekerjaanku dengan micro agency yang tidak transparan dalam pemberian gajinya. Seharusnya aku bisa mendapatkan lebih dari yang selama ini mereka beri kalau saja aku lebih jeli dan percaya diri. Kalang kabut aku dibuat untuk menyelesaikan kontrak yang mereka terima. Berkali-kali aku harus mengulang pekerjaan hanya karena mereka yang tidak kompeten dalam membaca brief dari klien. Aku berhasil menyelesaikan semuanya dan sisa pembayaranku sudah dikirimkan pagi tadi. Kepindahanku ke agency lain yang semoga lebih baik akan dimulai besok. Beberapa kontrak dan brief sudah aku terima hari ini untuk aku pelajari.

Kepalaku yang awalnya kukira sudah penuh ternyata masih bisa dipekerjakan ketika aku dengan cerobohnya mabuk dan dibawa pulang oleh orang tidak dikenal. Upayaku untuk kabur dari Bastian yang saat itu berupaya memanfaatkan rendahnya tingkat kesadaranku malah membawaku pada laki-laki yang katanya bernama Reyhan.

Aku tidak tahu dia siapa. Aku juga tidak mau tahu dia siapa.

Aku hanya perlu membayar hutang tidak sengaja lalu melupakan kejadiannya. Rasanya aku ingin mengumpat kalau ingat nominal yang perlu aku keluarkan hanya untuk tidur satu malam di hotel berbintang dalam keadaan tidak sadar. Bahkan fasilitasnya saja, aku tidak merasakan. Untuk apa dia memesan kamar suite dengan ruang tamu yang besar dan walk in closet untuk perempuan yang sedang mabuk?

Aku lebih merasa seperti sedang dipermainkan. Meski aku tahu bahwa dia tidak melakukan hal berlebihan kepadaku, tetap saja kalau bisa memilih aku tidak mau bertemu dengannya. Satu-satunya keuntungan dari dibantu orang yang tidak dikenal hanyalah aku tidak perlu berurusan lagi dengannya. Aku tidak mau bertemu dan berurusan lagi dengan orang yang melihatku dalam versi yang paling aku karena tidak ada yang boleh tau kecuali aku. Selesai mengembalikan uangnya, maka sudah. Selesai urusanku dengannya tanpa ada hutang apa-apa.

Rupanya aku tidak dibiarkan tenang karena beberapa hari setelahnya Tante Rosa memberi kabar tentang Gentala. Adikku yang baru mau masuk SMA meski usianya sudah 17 tahun itu tidak sedang baik-baik saja. Genta selalu mengirim pesan berisi doa-doa panjang setiap aku mengiriminya uang atau membelikannya barang. Dia rutin memintaku pulang setiap bulan meski jarang aku iyakan.

Anak laki-laki itu selalu meminta maaf karena selalu merepotkanku. Padahal aku kakaknya, dan kami berdua sama. Tidak ada dari kami berdua yang ingin hidup dengan cara ini. Tapi kalau hanya ditangisi, tidak akan ada perubahan berarti. Kini aku bisa kuliah meski sempat tertunda. Genta pun sama, bisa mengenyam bangku SMP dan sedang kuusahakan sampai kuliah meski dia jadi yang paling tua di angkatannya.

Salahku juga yang terlalu getol menyuruhnya sekolah sampai Genta berpikir bahwa Pendidikan adalah yang paling utama. Padahal tidak. Genta sendiri yang paling utama.

Aku sedih bukan main sewaktu Tante Rosa menceritakan perilaku Genta beberapa hari ke belakang. Hidung mimisan, tenggorokan radang, badan demam, dan tetap menolak untuk izin atau pergi periksa.

Genta pikir aku akan kecewa kalau dia tidak sekolah,

Padahal hatiku lebih patah waktu menemani Genta terbaring lemah meski beberapa hari saja. Kami menangis berdua. Genta meminta maaf, aku pun juga. Aku bilang berkali-kali kepadanya kalau kesehatannya adalah yang paling utama. Aku sudah kenyang dengan kehilangan dan perpisahan. Baik aku, Genta, maupun Tante Rosa, harus hidup lama. Akan kuusahakan entah bagaimana caranya.

Beberapa hari di rumah, aku menonaktifkan ponselku. Tidak ada satupun urusan pekerjaan dan kuliah yang aku pikirkan. Sudah ku bilang, keluargaku yang paling utama. Aku tidak tahu kalau surat sakit yang diberikan Safiera hanya berlaku dua hari. Aku perlu memohon kepada dosen pengajar agar diberi kesempatan mengejar ketertinggalan dengan tugas susulan. Tidak mungkin kuliahku putus begitu saja hanya karena bolos demi urgensi nomor satu yaitu keluarga.

Tapi seperti biasa, tidak semua dalam hidup akan berjalan dengan mudah.

Aku butuh pelepasan agar setidaknya aku bisa sedikit tenang.

Reyhan Bagaskara Putra Dierja

It’s been more than a week after the Allegro incident and I still can’t forget every little thing that happened.

Mungkin Jericho bakal ketawa kalo tau kemeja yang gue pakai malam itu masih gue gantung di kamar. Nggak gue cuci, nggak gue apa-apain. Cuma gue liatin aja tiap hari sebelum dan sepulang kerja sampe bikin aroma kamar gue berubah jadi campuran bau alcohol dan wangi vanila.

Call me pathetic, I’m fine with that. Tapi gue rasa gue nggak lebih pathetic dari cewek yang sekarang berdiri beberapa meter di depan gue, di bibir rooftop gedung dekanat setinggi 15 lantai ini kemarin di Allegro. Bukan gue ngatain dia pathetic in a bad way, tapi gue jadi ikutan merasa miserable ngedengerin semua omongan dia.

Gue punya alasan kenapa gue nggak ngejawab pertanyaan Jericho yang selalu diulang-ulang. Sekali gue buka mulut, nggak bakal ada habisnya. And it’s not my right to spill it out. Gue yakin cewek ini juga punya alasan kenapa dia sampe mabok dan gue nggak berhak menceritakan detail maboknya dia ke orang lain, terutama apa yang dia lakuin dan dia omongin. Gue juga nggak berhak menghakimi dia yang udah umur 21 dan baru jadi maba.

Tapi gue nggak bisa lupa sama apa yang gue rasain waktu dia gelendotan dan ngomong banyak hal sampe nggak bolehin gue pulang. Itu juga yang jadi alasan kenapa gue yang waktu itu tiba-tiba ditabrak di hallway arah ke toilet milih buat bawa dia keluar dari Allegro. Botol alcohol hampir habis yang dia pegang sama sekali nggak mau dilepas padahal dia udah sempoyongan. Denger dia bilang nggak mau disini dan mau pergi, ditambah dengan wajah panik sambil lihat ke sekitar, gue mikirnya dia lagi dikejar orang.

Banyak hal yang bikin gue begini tapi sekali lagi, gue nggak bisa bilang ke siapa-siapa. Termasuk Jericho.

Berhari-hari gue nyari, dikasih harapan palsu yang bikin gue kesel setengah mati, ternyata bocahnya ada di kampus yang lagi gue pegang projectnya.

Gue kira drama selanjutnya bakal kejadian di depan ruang dosen tadi, tapi ternyata cewek yang namanya Juwita (semoga bener ini namanya) itu melengos gitu aja padahal gue lagi duduk di deket pintu. Sebenernya gue lebih percaya kalo dia emang nggak lihat gue sih tadi, soalnya dia fokus nunduk ngecekin tasnya. Nggak tau deh kenapa. Yang jelas gue yang udah melototin dia sama sekali gak digubris, lewat doang sampe pintu berdebam dan ilang gitu aja.

Tapi bukan gue namanya kalo gak dapet apa yang gue mau.

Beberapa meter di depan gue sekarang ada Juwita yang lagi diem doang. Gue yakin Juwita ini yang gue tolongin di Allegro. Sayangnya gue nggak tau apalagi cara buat mastiin selain ngehubungin dia lagi sekarang. At least, kalo dia beneran orang yang gue tolong dan ngechat gue minggu lalu, handphonenya bakal bunyi (tapi semoga beneran diangkat, sih).

Chat yang gue kirim cuma centang dua. Nggak ada bunyi notif sama sekali yang berasal dari sana. Mata gue fokus natap Juwita yang pandangan matanya kosong. Tebakan gue sih dia lagi puyeng abis diomelin dosennya. Salah siapa bolos berhari-hari? Gue sebagai mantan mahasiswa nakal minder juga sama cara mainnya.

Gue langsung ganti nelepon whatsapp-nya setelah chat gue nggak membuahkan hasil apa-apa. Orang normal mungkin langsung nyerah. Tapi Reyhan enggak, lah. Panas-panasan di rooftop lantai 15 aja gue jabanin, apalagi nelepon whatsapp doang? Cih, mudah.

Saking optimisnya, gue sampe nggak merhatiin handphone gue. Gue cuma lihatin Juwita yang lagi ngerogoh saku celananya.

Gokil. Sebungkus rokok sama lighter dia keluarin dari kantongnya.

Gue nggak tau itu rokok apaan, nggak keliatan dari titik gue sembunyi. Tapi gue lihat dia bengong sambil lihatin sepuntung rokok yang udah dia pegang. Bahkan setelah dia ngeluarin sepuntung rokok aja, kotak yang masih banyak isinya dia remes-remes di tangan satunya. Kenapa dah?

Dia merem berkali-kali sebelum nyelipin rokok ke bibirnya dan nyalain lighter. Itu lighter abis nyala nggak langsung diarahin ke ujung rokok pula. Didiemin dulu beberapa detik. Nggak tau biar apa. Bingung gue juga.

Tapi semua bingungnya gue kejawab waktu itu rokok akhirnya nyala dan dia ngisep dari sana. Tebak apa? Iya, bener. Batuk dia.

Kenceng banget batuknya sampe lighter-nya jatoh dan dia nepuk-nepuk dadanya. Kocaknya, rokoknya masih nyelip di bibir. Lah, maunya apa?

Karena gak beres-beres batuknya, gue secara reflek lari mendekat dan ngebuang rokok dari mulutnya. Air minum sisa gue di kantin tadi gue sodorin dan untungnya langsung diterima.

Dia minum sambil ngebungkuk. Gue cuma geleng-geleng lihatnya. Begitu dia ancang-ancang mau berdiri tegak, gue juga ancang-ancang mau ngomelin dia. Tapi tainya, waktu dia udah berdiri dan noleh ke gue, tepat sebelum gue angkat bicara, mulutnya nyemburin air ke muka gue.

Kurang tai apa coba gue tanya???

Dia panik. Botolnya langsung dilempar dan dia langsung ngelapin pake tangan dia. Muka gue dipegang-pegang pake tangan bekas megang rokok. Sialan.

Gue cuma narik napas panjang. Ngeluarin sapu tangan bapak-bapak yang gue bawa di kantong celana buat ngeringin air bekasan dia di muka. Sumpah, jelek banget first impression-nya.

Sorry! Sorry! Sumpah sorry banget!”

Gue berdecak, sebel mampus dan males jawabnya. Detik ini gue berharap mending gue salah orang aja lah.

“Gue kaget banget, sorry!

“Emang muka gue kenapa? Udah ditolongin juga.”

Dia ngegeleng doang. Kayak boneka.

“Lah, jawab lah. Muka gue yang lo sembur nih.”

“Iya, sorry. Gue kaget. Maaf banget ya.”

Gue muter mata males. Omongannya gak ngejawab pertanyaan gue. “Iya kagetnya kenapa? Emang kalo bukan orang, siapa yang bakal ngasih lo minuman tiba-tiba? Setan?”

Dia nggak ngejawab.

“Atau kaget karena gue lagi yang nolongin lo tiba-tiba?”

Matanya membesar. Kaget kali ya langsung gue tembak gitu aja? Yaiyalah, seminggu lebih gue nunggu masa begitu ketemu masih aja gue ulur waktu.

Juwita langsung balik badan setelahnya. Tapi gue lebih cepet buat nahan tangannya. “Apa? Udah inget gue siapa? Mau kabur lagi? Kemana?”

“Gue udah nggak ada urusan sama lo.”

“Kok bisa?” Gue mengernyitkan dahi.

“Kan udah gue transfer uang hotelnya.”

“Lah ini, muka gue? Mau diganti pake apa?”

Dia melotot lagi. Khawatir lepas aja sih bola matanya. Emang salah kalimat gue? Kan bener, dia ngotorin muka gue pake air yang sebelumnya ada di dalem mulut dia. Masa dia cabut gitu aja? Enak di dia kalo gitu ceritanya.

“Lo maunya apa?”

Gue mengedikkan bahu. “Muka gue gak ada gantinya.”

Masih sambil megang tangannya, gue duduk di pinggir rooftop dengan kaki menjuntai ke bawah. Tangan gue satunya gue tepukin ke space di sebelah gue, ngasih isyarat biar dia mau duduk di sini. Alih-alih nurutin gue, dia tetep berdiri meski maju beberapa langkah karena ketarik sama gue waktu gue duduk tadi.

“Nggak mau duduk? Apa perlu dibersihin dulu alas duduknya?”

“Kita nggak ada urusan lagi.”

“Kata siapa? Ada, kok.”

Juwita miringin kepalanya, mungkin bingung dengan jawaban gue yang di luar prediksinya.

“Sini duduk makanya gue kasih tau, Juwita,” gue ngelepas tangan gue dari tangannya, “Juwita kan namanya?”

Cewek itu cuma ngangguk sambil ngelipet tangannya depan dada. Galak bener, buset. Bener-bener nggak inget kemaren gelendotannya kayak apa deh kayaknya.

Gue meringis kecil, nggak lagi lihat ke arah Juwita dan milih buat lihat ke depan.

“Harusnya gue ketemu Prof. Dwi tadi, tapi Beliau harus nemuin mahasiswanya terus udah keburu jam Beliau ngajar. Nah, siapa tuh mahasiswanya?”

Lagi-lagi gue nggak dapet jawaban. Gue mundurin badan, nyender dengan tangan yang jadi tumpuan. Gue gerakin dua kaki gue santai, melayang-layang menjuntai di bawah. Waktu gue nolehin ke arah Juwita, dia nggak ngelihat ke arah gue. Dia diem doang, tapi sama sekali gak menjauh sedikitpun. Dia masih berdiri di tempat tadi.

“Pusing ya kuliah? Bolos sekali, tugas penggantinya ngalah-ngalahin tugas besar.”

“Lo maunya apa sih?”

“Hmm,” Gue mikir bentar sebelum ngejawab. “Ganti rugi waktu? Karena gue jadinya nggak bisa balik ke kantor sekarang.”

“Lo bukan mahasiswa S2?” Pertanyaannya bikin gue noleh kaget.

“Gue? S2? HAHAHAHAHA.” Gue ketawa cukup lama. Lucu dah. Emang gue ada tampang anak rajin belajar ya? Lulus S1 tepat waktu aja alhamdulillah.

“Gak. Enakan kerja daripada kuliah,” jawab gue.

Gue nggak tau kenapa, tapi setelah gue jawab itu dia tiba-tiba mau duduk di sebelah gue. Agak jauh dikit sih, tapi mending lah daripada gue mesti ngedangak terus-terusan kan?

“Lo ngikutin gue ya? Lo nyariin gue?”

“Hm?” Gue noleh dan wajah Juwita bener-bener penuh curiga. “Enggak dan iya. Gue nggak ngikutin lo, tapi iya gue nyariin lo.”

“Bohong. Terus ngapain lo di kampus gue? Nggak usah bikin alasan mau ketemu Prof. Dwi segala. Utang gue emang masih ada kok lo sampe segini boongnya?”

Gue reflek mengelus dada gue drama. “Sakit banget gue dituduh gini dah, padahal gue cuma kerja.”

“Lo dosen?!”

HAHAHAHA GUE DOUBLE KETAWA.

Gue beneran ketawa parah sampe mesti berdiri dan berlutut di atas rooftop. Wah, gila. Jericho harus tau kalo hari ini gue dikira mahasiswa S2 dan dosen dalam waktu yang berdekatan. Gokil. Cocok ye emang muka gue kalo jadi orang berpendidikan.

“Serius!” Sekarang dia udah nepuk pundak gue. “Dosen ya?”

“Kagak,” Gue masih berusaha ngontrol ketawa sejujurnya, tapi muka paniknya bener-bener bikin gue gak tega. Mungkin dia takut kalo kemaren dia mabok sama dosennya atau takut juga karena udah ngejutekin dosennya. “Gue arsitek. Tuh, gedung serbaguna yang lagi dibangun tuh kerjaan gue, Juwita.”

“Oh.”

“Takut ya kalo ternyata lo check in sama dosen kemaren?”

Juwita malingin muka, nggak mau liat gue. Bikin gue meringis tipis karena lagi-lagi gue dicuekin. Emang pertanyaan gue kayak nggak butuh jawaban ya?

Gue diem setelahnya. Dia pun nggak kayak mau ngejawab gue, jadi kita diem-dieman doang. Beberapa menit sampai akhirnya dia buka suara.

“Kenapa lo nyariin gue?”

Gue noleh sambil senyum, meski dia masih belum mau ngeliat gue. It’s fine. Gue cuma mau liat muka dia biar gak salah orang ke depannya.

“Kenapa lo langsung ilang setelah ngechat gue?” Gue bales pertanyaannya dengan pertanyaan juga, sama seriusnya dengan nada bicaranya.

“Emang harusnya gimana?”

I don’t know. Maybe kenalan? Dengan proper tanpa gue harus tau 10 hari kemudian dari ruang dosen? Tanpa gue harus nulis nama gue di notes hotel?”

Juwita senyum miring. “Kenapa harus kenalan?”

“Karena gue udah nolongin lo dari…” gue diem sebentar, berusaha inget nama yang dia sebut malam itu. “Bastian? Iya, kemaren lo bilang namanya Bastian.”

Denger jawaban gue, pundaknya langsung lemes. Dia nunduk beberapa saat bikin gue bingung. Gue biarin dia diem sampai kemudian dia natap gue. Gue tau ini udah bukan lagi bercandaan waktu gue liat mata Juwita merah. “Apalagi yang lo inget dari gue malem itu?”

“Gue belum lupa sedikitpun.”

Dengan hati-hati gue berusaha ngejawab, tapi dia tetep menghela napas kasar. Kontan dia langsung berdiri yang kemudian gue susul juga.

“Gue nggak inget apa aja yang gue omongin kemaren. Gue mabok. Parah. Lo pasti tau itu. Tapi yang gue tau, omongan gue pasti ngelantur. Jadi please, nggak usah dibahas lagi, nggak usah diinget lagi. Anggep nggak pernah kejadian.” Gue dan Juwita sekarang berdiri berhadapan dengan lumayan dekat. Gue bisa lihat kantung matanya dengan jelas dan tangannya yg ngegenggam tasnya erat banget. Juwita ngelanjutin, “Kalo misal lo kasian sama gue, nggak usah. Gue nggak kenapa-napa. Omongan gue kemaren ngelantur semua.”

“Gue bukan anak kemaren sore yang bisa lo boongin gitu aja, anyway,” Gue senyum tipis, natap dia tepat di mata. “Semakin lo defensive dan minta lupain, semakin gue yakin kalo lo nggak cuma ngasal doang ngomongnya. Gue nggak bilang ke siapa-siapa dan gue nggak ngapa-ngapain lo juga. Kenapa lo ilang gitu aja?”

Juwita merem sebentar setelahnya. Dia ngusak poni panjangnya ke belakang, terus ngomong lagi setelah ambil nafas panjang.

“Nggak usah pake bilang ke siapa-siapa, dengan lo lihat dan tau gue kayak kemaren aja udah salah. Lo nggak seharusnya ada di sana. Gue nggak seharusnya ada sama siapa-siapa. Sekarang lupain aja semuanya dan kita selesai nggak ada urusan apa-apa, bisa?”

--

--

NAUMI

mendengar dan merasakan, lalu hilirnya menjadi sebuah tulisan